Seperti biasa pada kesempatan pulang (oh ya rumah saya di daerah Kabupaten Blitar, sementara tempat bertugasku hingga saat kutulis ini di daerah Papua tepatnya di kota Timika) ada tugas rutin mengantar dan menjemput 'pasukan-pasukanku' di sekolah. Sore itu ketika sedang menunggu anak-anak keluar, secara tak sengaja bertemu salah seorang pengajar tepatnya seorang ustadz baru keluar dari mushola dekat sekolah, diiringi celoteh riang anak-anak. Tampaknya baru selesai kegiatan pengajian rutin sore itu. Segera saja kusalami dan berjabat tangan dan ustadz dengan ramah yang memang senyumnya selalu menghiasi wajahnya. "Assalamu alaikum...apa kabar?" demikian sapanya. "Wa alaikum salam..baik, alhamdulillah ustadz.." jawabku. "Namanya Ustadz Handoko, lengkapnya Wahyu Handoko, atau biasa dipanggil Pak Han", demikian kata istriku ketika aku tanyakan suatu waktu. Beliau itu, lanjut cerita istriku, pendiri yayasan itu (Yayasan Al-Hikmah, Bence-Garum, Blitar,pen).
Jika saja kondisi beliau biasa saja, mungkin tidak begitu ada yang istimewa atau kesan khusus di hatiku. Namun yang sangat memberikan kesan yang cukup mendalam adalah kondisi fisik beliau yang -ma'af- kurang sempurna, justru mampu berkiprah sebagaimana atau bahkan melebihi orang normal lainnya.
Selepas SMA, Handoko ingin menjadi insinyur. Orangtuanya meminta dia masuk fakultas kedokteran atau fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. “Saya bilang kepada orangtua bahwa masuk kedokteran tidak mudah dan saya tidak suka menjadi guru. Saya pernah masuk Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang. Di tahun kedua, tahun 1988, saya pindah ke Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang,” ujarnya.
Kuliah di Unibraw hanya lancar sampai pertengahan semester tiga. Suatu hari, saat pemanasan menjelang bermain badminton, otot panggul kanannya terkilir. Cedera itu menjadi awal penderitaannya. “Cedera itu berkembang menjadi penyakit yang selama bertahun-tahun tidak saya ketahui namanya,” katanya.
Berbagai upaya pengobatan dilakukannya. Berbagai diagnosis disampaikan kepadanya. Sampai akhirnya salah seorang dokter mendiagnosis dia terkena penyakit radang sendi yang menjalar.
“Tahun 1991, selama enam bulan saya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Seluruh tubuh, dari kaki sampai leher, tidak bisa digerakkan. Saat itu saya hampir menyerah menghadapi penyakit ini dan merasa masa depan sudah tidak ada. Tahun 1992 saya terpaksa berhenti kuliah karena tidak bisa bergerak,” ucapnya.
Akhir tahun 1992, penderitaannya berangsur berkurang. Ia bisa bergerak lebih leluasa. Sampai saat ini panggul sampai lehernya tidak bisa digerakkan. Tangannya pun tidak bisa diangkat lebih tinggi dari dada.
Begitu bisa bangun dari tempat tidur, Handoko tak mau berdiam diri. Saat berkunjung ke rumah salah seorang kawannya, ia diminta membantu mengajar anak-anak mengaji. “Setelah beberapa kali, saya berpikir mengapa tidak dilakukan di kampung sendiri,” tuturnya.
Di Desa Bence, ia menyampaikan ide itu kepada Ustadz Ali Mahmud yang kemudian meminjamkan ruang tamu rumahnya untuk Taman Pendidikan Al Quran (TPA). “Saya bukan orang yang terlalu pandai mengaji, tetapi saya ingin membagikan sedikit pengetahuan itu kepada orang lain. Saya juga merasa hidup kembali setelah menjadi guru,” katanya.
Dalam beberapa bulan, muridnya bertambah sehingga semakin banyak ruang di rumah Ustadz Ali yang terpakai. Ustadz Ali bahkan terpaksa membuat ruang baru untuk keperluan keluarganya.
Setelah murid semakin banyak, Ustadz Ali menyerahkan tanah seluas 300 meter persegi untuk dikelola sebagai TPA yang dipimpin Ustadz Handoko. Di tanah itu dibuat bangunan yang bisa disekat menjadi empat ruangan. Sesekali, gedung itu dipakai untuk kegiatan warga.
Dengan waktu aktif terbatas, ia dan sebagian pengajar TPA berpikir untuk memanfaatkan gedung agar lebih optimal. Selain itu, sebagian orangtua murid merasa dampak pengajaran keagamaan dan moral di TPA itu tidak optimal karena waktu anak di TPA hanya 1,5 jam. “Kami dan sebagian warga berpikir sekolah formal akan lebih dihargai. Akhirnya, kami mendirikan yayasan dan mulai membuka TK pada akhir 1998,” ujarnya. Cikal bakal yayasan itu adalah tempat Ustadz Handoko mengajar 25 anak desa setempat mengaji. Tempatnya pun menumpang di rumah salah seorang warga desa.
Awal 2001, yayasan itu membuka SD. Sebagian guru TK diminta mengajar di SD itu. “Saya bersyukur ada saja yang membantu sekolah kami. Sekarang, sekolah kami menjadi sekolah laboratorium Konsorsium Pendidikan Islam,” tuturnya.
Untuk membuktikan itu, ia memilih jalan sebagai pengelola sekaligus guru di Yayasan Pendidikan Al Hikmah, Blitar, Jawa Timur. “Padahal, dulu saya benci sekali bila diminta sekolah guru. Sekarang saya menemukan diri saya bisa bermanfaat dengan menjadi guru,” tuturnya. Kebahagiaan Ustadz Handoko dilengkapi dengan kehadiran putra pertamanya, M Safiq Yasir, yang saat ini berusia 5 tahun. Yasir adalah buah perkawinannya dengan Lilis Suryani, guru di SD Al Hikmah, yang disuntingnya pada 22 Oktober 2004.
“Saya ingin membuat sekolah ini lebih bermutu dan berkembang. Suatu saat penyakit saya akan menyebar ke seluruh tubuh dan saya akan kesulitan bergerak. Namun, sebelum saat itu tiba, saya tidak mau berhenti,” tutur putra pertama pasangan Abdul Somad dan Masidatul ini.
“Saya dan adik saya mendapatkan kebahagiaan dengan melakukan ini,” ujar Ustadz Handoko.
Saat ini Yayasan ini (Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Al-Hikmah Blitar) mengelola sekolah menengah pertama (SMPIT), sekolah dasar (SDIT), taman kanak-kanak(TKIT), dan kelompok bermain (KBIT)di Desa Bence, Kecamatan Garum, Blitar. Sebanyak lebih dari 300 murid diajar oleh 29 guru yayasan tersebut. Dalam rentang waktu yang relatif muda dibanding sekolah-sekolah lain, sekolah di yayasan tersebut cukup fenomenal, prestasi para lulusannya bahkan dapat melampaui sekolah-sekolah lain, termasuk SMPIT yang saat ini sudah meluluskan untuk yang kedua kali, dengan nilai rata-rata hasil UAN (Ujian Akhir Nasional-pen) tertinggi di Kabupaten Blitar. Besar harapan para wali murid untuk terus mengembangkan sekolah tersebut, karena terbukti cukup berkualitas.
Ya, hasil ini tak lepas kerja keras rintisan Ustadz Handoko (dengan izin Alloh) walau dengan segala keterbatasan namun dengan semangat pantang menyerah, sama sekali tidak menghalangi beliau untuk berkarya besar dan bermanfaat bagi orang lain...
Saudaraku..mudah-mudahan kita dapat mengambil pelajaran dari semangat beliau, bisa lebih bersyukur atas segala karunia Alloh SWT yang diberikan kepada kita...Bukankah Rasulullah Shalallohu Alaihi Wasallam bersabda,” …Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia” (HR. Thabrani dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin al Albany dalam “ash shahihah"-nya). Wallohu a’lam.
Jika saja kondisi beliau biasa saja, mungkin tidak begitu ada yang istimewa atau kesan khusus di hatiku. Namun yang sangat memberikan kesan yang cukup mendalam adalah kondisi fisik beliau yang -ma'af- kurang sempurna, justru mampu berkiprah sebagaimana atau bahkan melebihi orang normal lainnya.
Selepas SMA, Handoko ingin menjadi insinyur. Orangtuanya meminta dia masuk fakultas kedokteran atau fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. “Saya bilang kepada orangtua bahwa masuk kedokteran tidak mudah dan saya tidak suka menjadi guru. Saya pernah masuk Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Malang. Di tahun kedua, tahun 1988, saya pindah ke Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang,” ujarnya.
Kuliah di Unibraw hanya lancar sampai pertengahan semester tiga. Suatu hari, saat pemanasan menjelang bermain badminton, otot panggul kanannya terkilir. Cedera itu menjadi awal penderitaannya. “Cedera itu berkembang menjadi penyakit yang selama bertahun-tahun tidak saya ketahui namanya,” katanya.
Berbagai upaya pengobatan dilakukannya. Berbagai diagnosis disampaikan kepadanya. Sampai akhirnya salah seorang dokter mendiagnosis dia terkena penyakit radang sendi yang menjalar.
“Tahun 1991, selama enam bulan saya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Seluruh tubuh, dari kaki sampai leher, tidak bisa digerakkan. Saat itu saya hampir menyerah menghadapi penyakit ini dan merasa masa depan sudah tidak ada. Tahun 1992 saya terpaksa berhenti kuliah karena tidak bisa bergerak,” ucapnya.
Akhir tahun 1992, penderitaannya berangsur berkurang. Ia bisa bergerak lebih leluasa. Sampai saat ini panggul sampai lehernya tidak bisa digerakkan. Tangannya pun tidak bisa diangkat lebih tinggi dari dada.
Begitu bisa bangun dari tempat tidur, Handoko tak mau berdiam diri. Saat berkunjung ke rumah salah seorang kawannya, ia diminta membantu mengajar anak-anak mengaji. “Setelah beberapa kali, saya berpikir mengapa tidak dilakukan di kampung sendiri,” tuturnya.
Di Desa Bence, ia menyampaikan ide itu kepada Ustadz Ali Mahmud yang kemudian meminjamkan ruang tamu rumahnya untuk Taman Pendidikan Al Quran (TPA). “Saya bukan orang yang terlalu pandai mengaji, tetapi saya ingin membagikan sedikit pengetahuan itu kepada orang lain. Saya juga merasa hidup kembali setelah menjadi guru,” katanya.
Dalam beberapa bulan, muridnya bertambah sehingga semakin banyak ruang di rumah Ustadz Ali yang terpakai. Ustadz Ali bahkan terpaksa membuat ruang baru untuk keperluan keluarganya.
Setelah murid semakin banyak, Ustadz Ali menyerahkan tanah seluas 300 meter persegi untuk dikelola sebagai TPA yang dipimpin Ustadz Handoko. Di tanah itu dibuat bangunan yang bisa disekat menjadi empat ruangan. Sesekali, gedung itu dipakai untuk kegiatan warga.
Dengan waktu aktif terbatas, ia dan sebagian pengajar TPA berpikir untuk memanfaatkan gedung agar lebih optimal. Selain itu, sebagian orangtua murid merasa dampak pengajaran keagamaan dan moral di TPA itu tidak optimal karena waktu anak di TPA hanya 1,5 jam. “Kami dan sebagian warga berpikir sekolah formal akan lebih dihargai. Akhirnya, kami mendirikan yayasan dan mulai membuka TK pada akhir 1998,” ujarnya. Cikal bakal yayasan itu adalah tempat Ustadz Handoko mengajar 25 anak desa setempat mengaji. Tempatnya pun menumpang di rumah salah seorang warga desa.
Awal 2001, yayasan itu membuka SD. Sebagian guru TK diminta mengajar di SD itu. “Saya bersyukur ada saja yang membantu sekolah kami. Sekarang, sekolah kami menjadi sekolah laboratorium Konsorsium Pendidikan Islam,” tuturnya.
Untuk membuktikan itu, ia memilih jalan sebagai pengelola sekaligus guru di Yayasan Pendidikan Al Hikmah, Blitar, Jawa Timur. “Padahal, dulu saya benci sekali bila diminta sekolah guru. Sekarang saya menemukan diri saya bisa bermanfaat dengan menjadi guru,” tuturnya. Kebahagiaan Ustadz Handoko dilengkapi dengan kehadiran putra pertamanya, M Safiq Yasir, yang saat ini berusia 5 tahun. Yasir adalah buah perkawinannya dengan Lilis Suryani, guru di SD Al Hikmah, yang disuntingnya pada 22 Oktober 2004.
“Saya ingin membuat sekolah ini lebih bermutu dan berkembang. Suatu saat penyakit saya akan menyebar ke seluruh tubuh dan saya akan kesulitan bergerak. Namun, sebelum saat itu tiba, saya tidak mau berhenti,” tutur putra pertama pasangan Abdul Somad dan Masidatul ini.
“Saya dan adik saya mendapatkan kebahagiaan dengan melakukan ini,” ujar Ustadz Handoko.
Saat ini Yayasan ini (Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Al-Hikmah Blitar) mengelola sekolah menengah pertama (SMPIT), sekolah dasar (SDIT), taman kanak-kanak(TKIT), dan kelompok bermain (KBIT)di Desa Bence, Kecamatan Garum, Blitar. Sebanyak lebih dari 300 murid diajar oleh 29 guru yayasan tersebut. Dalam rentang waktu yang relatif muda dibanding sekolah-sekolah lain, sekolah di yayasan tersebut cukup fenomenal, prestasi para lulusannya bahkan dapat melampaui sekolah-sekolah lain, termasuk SMPIT yang saat ini sudah meluluskan untuk yang kedua kali, dengan nilai rata-rata hasil UAN (Ujian Akhir Nasional-pen) tertinggi di Kabupaten Blitar. Besar harapan para wali murid untuk terus mengembangkan sekolah tersebut, karena terbukti cukup berkualitas.
Ya, hasil ini tak lepas kerja keras rintisan Ustadz Handoko (dengan izin Alloh) walau dengan segala keterbatasan namun dengan semangat pantang menyerah, sama sekali tidak menghalangi beliau untuk berkarya besar dan bermanfaat bagi orang lain...
Saudaraku..mudah-mudahan kita dapat mengambil pelajaran dari semangat beliau, bisa lebih bersyukur atas segala karunia Alloh SWT yang diberikan kepada kita...Bukankah Rasulullah Shalallohu Alaihi Wasallam bersabda,” …Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia” (HR. Thabrani dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh Nashiruddin al Albany dalam “ash shahihah"-nya). Wallohu a’lam.
(Sebagian bersumber dari Kompas, 2006)